Kamis, 01 Oktober 2009

Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air (UU No.7 Tahun 2004 Tentang SDA)

Hak terhadap air yang setara merupakan hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ". Kalimat tersebut mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Pada tingkat internasional, hak atas air yang setara juga diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002.

Privatisasi hanya akan menguntungkan pihak pemodal/ investor dan menyengsarakan masyarakat banyak. Kita lihat pengalaman privatisasi air minum di Filipina, terjadi kenaikan tarif sampai 500% dan 3.000 pegawai dipecat atau dibuat mundur cepat agar supaya bisa menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Sementara di Cochabamba, sebuah kota di Bolivia (sebelum masa presiden Evo Morales), masyarakat yang mayoritas miskin itu harus mengurus surat ijin terlebih dahulu ketika ingin menampung air hujan saja. Hal itu karena pelayanan air minum di kota tersebut sudah diprivatisasi. Sedangkan masyarakat miskin di Afrika Selatan yang kekurangan air itu pernah dipaksa membeli air melalui sebuah mesin (pre-paid water meters), sehingga mereka harus membeli kartu terlebih dahulu dan air dibeli sesuai dengan harga kartu. Konsumen akan menjadi tumpuan untuk membayar biaya operasi dan pemeliharaan fasilitas pelayanan pasokan air. Jadi jelas, seluruh biaya produksi harus ditanggung konsumen termasuk penduduk miskin.

Pada 1991 Bank Dunia memberi pinjaman kepada perusahaan daerah air minum Jakarta (PT PAM Jaya) sebesar 92 juta dolar AS untuk mengembangkan infrastruktur jaringan air minum di Jakarta. Lewat pinjaman itu Bank Dunia mengharapkan terjadinya privatisasasi dan masuknya para investor (lokal dan asing) dalam bisnis air. Pada 1993 perusahaan multinasional Thames Water Overseas asal Inggris mulai masuk ke Jakarta dan menggandeng putra Soeharto nomor tiga, Sigit Harjojudanto. Dari Perancis, perusahan air minum Suez megikuti proyek swastanisasi PAM Jaya. Mereka membentuk perusahaan lokal, PT. Garuda Dipta Semesta, bekerjasama dengan keluarga Cendana dan Anthony Salim dari Salim Grup. Di mitra lokal ini Suez menguasai 40% saham. Pada tahun 1995, Presiden Soeharto memberikan perintah kepada Menteri pekerjaan umum waktu itu untuk memprivatisasi PAM Jaya, keputusan yang penuh dengan unsur KKN.

Pada tanggal 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan UU Sumber Daya Air yang baru. Dalam Undang-undang yang baru ini beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Agenda ini didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) untuk program WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah.

Hak Guna (Pakai dan Usaha) ps 7, 8, 9 dan 10. Hak Guna Pakai adalah hak untuk memperoleh dan memakai air bagi keperluan sehari-hari dan pertanian. Tidak memerlukan izin. Ada diskriminasi formalitas yang membuka peluang terjadinya perebutan sumberdaya air oleh investor dengan izin pemerintah (Kasus Klaten).
Penguasaan Sumber Air oleh swasta melalui pemberian Hak Guna Usaha Air ps 9, 45, 46, 48 dan 49. Undang undang ini secara fundamental telah merekonstruksi prinsip penggunaan dan penguasaan air yang merupakan milik umum dan diperoleh secara bebas (common property, open acces) yang dikuasai oleh negara (state property) kepada swasta (quasy private property) untuk tujuan komersial.
Privatisasi Air Minum dan Irigasi. Pasal 40, 41 dan 46 UU ini membuka kesempatan luas kepada swasta untuk menjalankan jasa penyediaan air minum dan irigasi. Sebagai imbalan, pihak swasta dapat memungut biaya jasa atas pengelolaan air baku untuk irigasi (pasal 26 dan 80). Salah satu contoh, Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 2002 telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Irigasi yang baru, dimana salah satu instrumen yang diadopsi adalah penerapan "cost recovery" kepada petani atas penggunaan air irigasi. Sektor pertanian akan semakin mahal bagi petani dengan diterapkannya tarif atas air irigasi.

Swastanisasi sumber daya air hanya menguntungkan kalangan bisnis dan merugikan petani yang merupakan mayoritas penduduk negara-negara berkembang. Dewasa ini, sebanyak 60 sampai 70 persen sektor pertanian Asia terdiri dari petani dan kebanyakan hanya memiliki lahan seluas 1,5 ha. Pengelolaan sumber daya air harus melibatkan konsumen dalam manajemennya. Keterlibatan masyarakat dalam mengolah air bersih itu ternyata tidak hanya mampu menekan tingkat kebocoran air tetapi juga dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan negara pengolah air bersih yang bersangkutan. Air memang dianggap barang komersial tetapi pengolahannya tetap ada unsur sosial, dengan penanganan seperti itu bertujuan dapat meningkatkan efisiensi dan pendapatan perusahaan, karena keuntungan diperoleh diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan. Pengolahan itu juga ternyata mendorong harga yang semakin terjangkau masyarakat luas. Harus dilahirkan undang-undang tentang sumberdaya air yang baik, yang menjaga hak dasar rakyat atas air dan menjaga pemanfaatannya secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar